1/30/2013

Dasar Tauhid



a.    Pengertian Tauhid
Menurut bahasa, kata tauhid berasal dari bahasa Arab, yaitu wahhada, yuhawwidu, tauhidah, yang berarti mengesakan, menunggalkan, atau mengi’tibarkan bahwa Allah adalah Esa.[1] Sedangkan menurut istilah, tauhid dapat diartikan sebagai meyakini akan keesaan Allah dalam Rububiyah (penciptaan, pemeliharaan, pemilikan), Uluhiyah (ikhlas beribadah kepada-Nya) dan al-Asmaa wa ash-shifaat (nama-nama dan sifat-Nya). [2]

b.   Kedudukan Tauhid dalam Islam
Kedudukan tauhid dalam ajaran Islam adalah paling sentral dan esensial. Tauhid merupakan suatu komitmen manusia kepada Allah sebagai fokus dari seluruh rasa hormat, rasa syukur, dan sebagai satu-satunya sumber nilai. Apa yang dikehendaki Allah, akan menjadi nilai bagi manusia yang bertauhid, dan manusia yang bertauhid itu, tidak akan mau menerima otoritas dan petunjuk, selain dari petunjuk Allah. Itu karena, komitmen kepada Tuhan adalah sebuah harga mati.[3] Sebagaimana dalam firman-Nya : "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (QS An Nahl: 36)

c.    Macam-macam Tauhid
      Tauhid Rububiyah.
Secara literal, term ’Rububiyyah’ berasal dari kata rabb, yang berarti pemelihara, pengasuh, penolong, pelindung, pendidik, dan pencipta alam semesta dan seisinya. Sedangkan menurut istilah, tauhid rububiyyah dapat dimaknai dengan mentauhidkan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya.[4] Allah berfirman : “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya” (QS. Hud [11] : 6).
 -       Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari kata Ila dengan akar kata a-la-ha yang berarti  ta’at, tunduk, cinta, dan sembah. Menurut Istilah adalah : keyakinaan bahwa Allah adalah satu-satunya  dzat yang berhak disembah dan dita’ati.[5] Allah berfirman: Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan. (Q.S. Al Fatihah : 5)
-          Tauhid Asma Wa ash-Shifaat
Yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-Qur’anul dan hadits tentang sifat-sifat Allah SWT yang berasal dari penyifatan-Nya, atau penyifatan dari Rasulullah. Tauhid ini akan terwujud dengan menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk-Nya, dalam kitab-Nya, serta menafikan apa yang dinafikan Allah tanpa adanya perubahan, penyangkalan, dan penyerupaan.[6] Sebagaimana firman Allah, Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (Qs. al-Araf : 180).



[1] Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam (Cet. II; Jakarta: Grafindo Persada, 1996
[2] Faridl, Miftah, (2000), Pokok-pokok Ajaran Islam, Pustaka, Bandung, Cet. 10, hal. 88
[3] Abdulrahman, Muhammad Imadudin., Kuliah Tawhid, Pustaka, Jakarta cet. III, hal. 78
[4] Faridl, Miftah., Op.cit, 89
[5] Ibid. hal. 90
[6] Syeikh Umar bin Su’ud,(2005), Tauhid Urgensi dan Manfaatnnya, Kantor Kerjasama Dakwah Bimbingan dan Penyuluhan al-Sulay, Riyadh hal. 23

Thaharah



Islam adalah agama paling sempurna. Kesempurnaan Islam menyangkut semua yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Mulai dari urusan politik, ideologi, ekonomi, hukum, sosial budaya, hingga ke urusan yang sifatnya sangat pribadi. Salah satunya adalah urusan bersuci atau dalam ilmu fiqh disebut Thaharah.[1]
Thaharah menurut bahasa berarti bersih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqh) diartikan membersihkan hadas atau menghilangkan najis, yaitu seperti darah, air kencing, dan tinja. [2]
Dalam pandangan Islam, masalah bersuci dan segala yang berkaitan dengannya, merupakan kegiatan yang sangat penting. Karena, di antara syarat sahnya salat adalah orang yang mengerjakannya suci dari hadas, badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.[3] Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah [2] : 222). [4]
Bersuci atau berthaharah berkaitan langsung dengan (1) alat bersuci (air, tanah, batu dan sebagainya) (2) kaifiat atau cara bersuci, (3) macam dan jenis najis yang harus dihilangkan, dan (4) sebab-sebab yang mengakibatkan wajibnya bersuci.
Bersuci sendiri terdiri dari dua bagian yaitu bersuci dari (1) hadats besar dan kecil. Hadats besar disucikan dengan jalan mandi, sedangkan hadats kecil dilakukan denngan cara berwudhu. (2) bersuci dari najis, dengan jalan mencuci benda yang kena najis, sehingga hilang materi najis itu, warna, rasa dan baunya.[5]

Macam-macam Alat Bersuci
Untuk dapat menyucikan diri dari hadas dan najis itu sebaiknya menggunakan air, sebagaimana firman Allah SWT: "..Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan. " (QS. al-Furqon [25]: 48).[6] Akan tetapi selain air, untuk dapat bersuci dapat menggunakan tanah sebagaimana Firman-Nya dalam surat an-Nisa [4]: 43, Kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang suci.[7]

Macam-macam Air dan Pembagiannya
Ditinjau diri segi hukumnya, air dapat dibagi menjadi empat macam:

  1. Air yang suci dan menyucikan (thahir wa munthahhir lighiarih), air yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap keadaannya. Air yang demikian, boleh dipakai minum dan sah digunakan untuk bersuci. Misalnya air hujan, air sumur, air laut, air salju, air sungai, air sumberan, dan air embun.[8] Sebagaimana dalam firman Allah : “..dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. al-Anfal : 11).[9]
  2. Air suci tetapi tidak dapat digunakan untuk bersuci (thahir wa ghairu muntharir lighairih), yaitu air yang tercampur dengan suatu benda yang suci (terkena air kopi, teh, dan sebagainya), yang kurang dari dua kulah, dan air yang keluar dari pepohonan dan buah-buahan (air kelapa).
  3. Air yang bernajis, yaitu air yang sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini benar-benar tidak dapat dipergunakan untuk bersuci.
  4. Air yang makruh, yaitu air yang suci namun terjemur oleh terik matahari dalam suatu bejana (selain bejana emas dan perak). Air ini makruh dipakai badan, tapi tidak untuk pakaian. Sebagaimana sabda Rasulullah, Dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari. Maka Rasulullah SAW berkata,” Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (HR. Baihaqi). [10]


Benda-benda yang Termasuk Najis
Dalam istilah Ilmu Fiqh, najis berarti kotoran yang bagi setiap Muslim wajib menyucikan diri daripadanya, dan menyucikan dari apa yang dikenainya. [11] Suatu barang, menurut hukum aslinya adalah suci selama tak ada dalil yang menunjukan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak, di antaranya :

  1. Bangkai binatang darat, darah, daging anjing dan babi. Bangkai adalah binatang yang mati begitu saja tanpa disembelih menurut ketentuan agama.[12] Allah berfirman “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi (QS. al-Maidah [5]: 3).[13] Dikecualikan dari itu: (a) Bangkai ikan dan belalang, (b) Bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti semut, lebah, nyamuk, dan lain-lain, maka ia adalah suci. (c) Tulang dari bangkai, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit dari binatang yang hukumnya suci. Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa. Rasulullah bersabda : Telah dihalalkan bagi kita dua macam darah, yaitu hati dan limpa. (HR. Ibnu Majah). Dikecualikan juga, darah yang tertinggal di daging binatang yang sudah disembelih, misalnya darah ikan.
  2. Nanah, segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun cair. Karana nanah itu merupakan darah yang sudah busuk.
  3. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu (tempat air kecil dan besar), semua itu najis -selain dari mani- baik yang biasa (air kencing dan tinja) ataupun yang tidak biasa (seperti mazi, cairan yang keluar dari kemaluan laki-laki ketika ada syahwat sedikit), baik dari hewan yang halal dimakan, maupun yang tidak halal. [14]


Kaifiat Menyuci Benda yang Kena Najis
Untuk melakukan cara menyuci benda yang kena najis, terlebih dahulu akan dijelaskan pembagian najis.


  1. Najis Mughaladhah, yaitu najis yang berat, yakni yang timbul dari najis anjing dan babi. Cara menyucikannya ialah lebih dahulu dihilangkan wujud benda najis itu, kemudian baru dicuci bersih dengan air sampai tujuh kali dan salah satunya dicuci dengan air yang tercampur tanah. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Cara menyuci bejana apabila dijilat anjing, hendaklah dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah.” (Riwayat Muslim).
  2. Najis Mukhafafah : yaitu najis yang ringan, seperti air kencing bayi laki-laki yang umurnya kurang dari dua tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibunya. Cara menyucikannya cukup dengan memercikan air pada benda yang kena najis itu sampai bersih meskipun air itu tidak mengalir. Adapun kencing bayi perempuan yang belum makan selain susu hendaklah mencucinya dengan cara dibasuh dengan air yang mengalir di atas benda yang terkena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat –sifatnya. Rasullah bersabda, “Kencing anak-anak perempuan dibasuh dan kencing anak laki-laki diperciki saja.” (HR. Tirmidzi)
  3. Najis Mutawassithah (najis yang sedang), yaitu najis yang lain selain yang tersebut dalam najis ringan dan berat. Najis Mutawassithah dapat dibagi menjadi dua bagian : 
  • Najis 'ainiyah : Yaitu najis yang bendanya berwujud. Cara menyucikannya dengan menghilangkan zat (bendanya) lebih dahulu hingga hilang rasa, bau, dan warnanya. kemudian menyiramnya dengan air sampai bersih.  
  • Najis hukmiyah : yaitu najis tidak berwujud bendanya, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering, cara mensucikannya cukup dengan mengalirkan air pada  benda yang terkena najis itu. [15] []



[1] Al-Ghazali, (2003), Mutiara Ihya’ Ulumudin, Mizan, Bandung, cet. 15, hlm 49
[2] Sabiq, Sayyid (1996), Fiqh Sunnah Al-Ma’arif, Bandung, cet 16, hlm. 34
[3] Rasyid, Sulaiman, (2004), Fiqh Islam, PT. Sinar Baru Algesindo, Bandung, cet. 36 hlm. 13
[4] Depag. RI, (2006), Alqur’an dan Terjemahannya, Dipenogoro, Bandung, Cet. 10, hlm. 27
[5] Rasyid, Sulaiman., Op.cit 13
[6] Depag. RI., Op.cit 290
[7] Ibid. 67
[8] Rasyid, Sulaiman., Op.cit 13
[9] Depag. RI., Op.cit 142
[10] Rasyid, Sulaiman., Op.cit 15-16
[11] Sabiq, Sayyid, Op.cit 45
[12] Rasyid, Sulaiman., Op.cit 16
[13] Depag. RI., Op.cit 85
[14] Rasyid, Sulaiman., Op.cit 17, 19
[15] Ibid. 21-22