12/26/2013

Malas



Malas dalam bahasa Arab disebut dengan al-kaslu, yang bermakna berat untuk mengerjakan sesuatu dan berhenti dari menyempurnakan sesuatu.[i] Dalam pengertian lain, malas sendiri merupakan ketidaksanggupan seseorang bertekun dalam suatu kewajiban. Sifat malas ini juga termasuk akhlak mazmumah.[ii]

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, malas maka akan melahirkan sifat menyia-nyiakan waktu, berlebihan, tidak mau meraih apa pun, dan penyesalan yang sangat parah. Maka hal itu akan menafikan sifat keingintahuan dan kekuatan yang keduanya merupakan buah dari ilmu.[iii]

Barangsiapa yang memperhatikan nash-nash syar’i dalam masalah ini, niscaya akan ditemukan bahwa Islam adalah agama yang mencela sifat malas. Sebab, malas ini merupakan sifat dasar orang munafik. Allah SWT mengisahkan tentang mereka dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya [dengan shalat] di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisaa [4]: 142)[iv]

Sifat malas ini memiliki banyak sekali sisi negatifnya, di antaranya menjadi penyebab turunnya adzab. Sebagaimana yang termaktub dari hadits berikut : dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Rasulullah SAW memerintah suatu desa untuk keluar berperang, tetapi mereka bermalas-malasan dan berat untuk keluar berperang. Maka Allah SWT menahan hujan untuk mereka, dan itulah adzabnya bagi mereka. (HR. Ath-Thabari)

Selain itu, malas juga berdampak pada keadaan jiwanya yang menjadi jelek. Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang hamba bangun malam, kemudian berdzikir kepada Allah, terlepaslah satu ikatan. Apabila dia berwudhu, terlepaslah satu ikatan lagi. Jika dia shalat, maka akan terlepas seluruh ikatan. Maka pagi harinya jiwanya akan semangat dan bagus. Jika tidak bangun (malam), jadilah jiwanya jelek dan malas.”(HR. Bukhari).

Dari sekian dampak negatif malas, Rasulullah SAW meyontohkan umatnya untuk berusaha keluar dari cengkraman kemalasan. Salah satu doa yang sering diucapkan Rasulullah SAW adalah sebagai berikut Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lemah dan malas, dari rasa takut, tua, dan bakhil. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur dan fitnah hidup dan kematian.” [v]


[i] Ahmad Kusaeri, (2006), Akidah Akhlak Untuk Kelas 2 MI, Jakarta: Grafindo, hlm. 126
[ii] Hamzah Ya’Qub, (1983), Etika Islam, Bandung : CV Diponegoro, cet. 2 , hlm. 122-123
[iii] Salim bin Ied al-Hilal, (2005), Riyadhus Salihin Jilid 1, Jakarta: Pustaka Imam syafi’I, hlm. 449
[iv] M. Abdul Ghafar, (2004), Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 435
[v] Khalid Abdul Mu’thi, (2005), Nasihat Untuk Orang Lalai, Jakarta: Gema Insan Pers, hlm. 99

Kepercayaan Thiyarah dalam Islam

Islam tidak mengajarkan umatnya untuk percaya kepada hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan syariat. Juga tidak mengizinkan manusia untuk berpikiran melebihi apa yang belum Allah tentukan. Kepercayaan (prasangka) akan terjadinya sesuatu yang buruk atau sial dikarenakan melihat suatu fenomena atau kejadian tertentu dalam istilah Islam disebut thiyarah atau tathayyur. Istilah ini diambil dari kalimat “rajara al-thayra” yang artinya menerbangkan burung. [i]

Dikatakan demikian karena dahulu (waktu zaman jahiliyah) untuk melihat pertanda kehidupan, orang-orang akan melepas seekor burung. Bila burung tersebut terbang ke arah kanan, maka akan dianggap membawa keberuntungan atau sebaliknya, begitupun seterusnya.[ii]

Menurut Syaikh Muhammad bin Salih al-Utsmain, adanya tathayur telah menafikan tauhid dari dua segi, pertama orang yang tathayur tidak memiliki rasa tawakkal. Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya, juga erat kaitannya dengan yang namanya takhayul. [iii]

Ibnu Qayim berpendapat, orang yang tathayur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, dan mudah terpengaruhi dengan apa yang didengar dan dilihatnya. Banyak memelihara hal-hal yang mudharat. Allah SWT sendiri menggambarkan orang yang memiliki sifat tathayur ini dalam salah satu firman-Nya : Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui,” (QS. al-Araaf [7]: 131).[iv]

Tathayur adalah satu hal yang berdiri tanpa landasan ilmu pengetahuan atau kenyataan yang benar. Tathayur hanya berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan yang kerap kali salah. Jumhur ulama sepakat, bila tathayur ini termasuk syirik. Sebab itu, dosanya tidak akan diampuni. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut : Rasulullah SAW bersabda : ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satu pun. Yaitu, menuduh, hasud, dan tathayur. Karena itu, kalau kamu menuduh jangan kamu nyatakan, dan kalau kamu hasud jangan lanjutkan, dan  kalau kamu tathayur jangan kamu gagalkan pekerjaanmu. (HR. Thabrani). [v]


[i] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, (2006) Syarah Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Bogor : Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 478
[ii] Salim bin Ied, (2005), Ensiklopedi larangan menurut alqur’an dan sunnah, Bogor:  Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 122
[iii] Yazid bin Abdul Qadir Jawas., op.cit, hlm. 479
[iv] Salim bin Ied, op.cit, hlm. 119
[v] Yusuf Qardhawi, (1987) Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 339

Larangan Meminta Jabatan

Selain cenderung mencintai harta dan pasangan lawan jenis, naluri manusia lainnya yang Allah SWT berikan adalah kecenderungan mencintai tahta (jabatan).[i] Dalam sebuah riwayat dikatakan, maksud jabatan dalam pandangan Islam sendiri merupakan sesuatu yang dapat menghasilkan celaan, yang kedua adalah penyesalan, dan yang ketiga adalah adzab di hari kiamat.[ii]

Karena itu, agar tidak terjebak menjadi budak jabatan, maka Islam melarang umatnya untuk meminta jabatan dengan sengaja. Sebab, seseorang yang meminta dan menginginkan jabatan atau posisi terhormat, kemungkinan besar ia akan merendahkan agamanya demi mencapai atau mempertahankan kedudukan yang telah diraihnya.[iii]

Rasulullah Saw. melarang umatnya untuk meminta dan berusaha mendapatkan suatu jabatan. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut: kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah pernah bersabda, wahai Abdurahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan. Sebab, jika engkau meminta jabatan tanpa memintanya terlebih dahulu, engkau akan diberi pertolongan dalam mengembannya. Sedang, jika engkau memangku jabatan dan sebelumnya engkau memang memintanya, engkau akan terbebani dalam mengembannya. (HR. Bukhari). Jumhur ulama berpendapat, walaupun hadits ini ditujukkan kepada Abdurahman bin Samurah, namun pada hakikatnya, hadits itu diperuntukkan untuk seluruh umat Muslim.

Dalam Islam, perkara kepemimpinan bukanlah hal yang main-main, karena yang namanya pemimpin dia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Rasulullah Saw. pernah berpesan, Sesungguhnya jabatan itu merupakan suatu amanah. Kelak pada hari kiamat, jabatan itu akan menjadi sumber kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi mereka yang memangkunya dengan benar dan mampu menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya. (HR. Muslim) [iv]


[i] Didin Hafidhudin, (2003), Islam Aplikatif, Jakarta: Gema Insan Pers, hlm.47
[ii] Salim bin Ied, (2005), Ensiklopedi larangan menurut alqur’an dan sunnah, Bogor:  Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 400
[iii]Abdul Aziz bin Fathi, (2007) Ensiklopedi Adab Islam Jilid 1, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, hlm. 140
[iv] Imam Nawawi, (2006), Ringkasan Riyadhus Shalihin, Bogor : Irsyad Baitus Salam, hlm. 307

Mengangkat Pemimpin Non Muslim

Islam telah menetapkan aturan yang khas bagi umatnya, termasuk mengatur interaksi antara muslim dengan yang non muslim. Adapun yang termasuk non muslim di sini adalah para ahli kitab, orang musyrik, dan kaum-kaum di luar muslim lainnya. Islam memiliki batas-batas yang tidak bisa dilanggar.  [i]

Di antara bentuk tanggung jawab sosial dalam Islam dan salah satu karakteristik umumnya adalah kekuasaan dalam masyarakat Islam diberikan secara bergiliran terhadap mereka yang mampu.  Tidak boleh dimonopoli kekuasaan tersebut oleh dirinya sendiri, dan anak cucunya. Karena itulah Islam menganjurkan untuk terjadi adanya pergantian kepemimpinan.

Akan tetapi dalam konsep Islam sendiri, tidak pantas dan tidak laik bila umat muslim mengangkat atau mendelegasikan seorang pemimpin dari kalangan non -muslim. Sebab, adanya kepemimpinan tersebut, tak lain diperuntukkan untuk menjalankan syaria’t Islam di muka bumi. Hal itu, tentu saja tidak bisa direalisasikan bila pemimpinnya non -muslim. Karena itu, salah satu syarat sahnya kepemimpinan di mata Allah, adalah pemimpin tersebut beragama Islam. Sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut : “Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai wali-wali, sebagian mereka adalah wali (penolong, pemimpin, dan lain-lain) untuk sebagian yang lain..." (QS. Al Maidah : 51).[ii]

Imam al-Ghazali mengatakan, ayat di atas merupakan perintah yang jelas terhadap kaum muslim untuk tidak memilih pemimpin yang non-muslim. Apalagi yang zalim dan sering menghinakan Islam.[iii] 

Dalam ayat lain, Allah juga memberikan ancaman terhadap kepimimpinan yang dipimpin oleh non-muslim dalam firman-Nya berikut ini : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali  dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (QS. an-Nissa [4]: 144). [iv]



[i] Adnan Hasan Salih, (1999), Tanggung Jawab Ayah terhadap anak laki-laki,Jakarta: gema Insan pers hlm. 222
[ii] , Ali Abdul Halim, Fikih Responsibilitas, Jakarta: gema Insan Pers, hlm. 179
[iii] Yusuf Qarhawi, (1998), Kebangkitab Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insan Pers, hlm. 168
[iv] Adnan Hasan Salih, op.cit, hlm. 222

12/04/2013

Tarbiyah Islamiyah


Dalam bahasa Arab, kata at-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu rabba - yarbu yang memiliki makna tumbuh, bertambah, atau berkembang. Kedua, rabbi – yarba yang bermakna tumbuh dan menjadi besar atau dewasa. Kemudian, rabba – yarubbu, yang artinya memperbaiki, mengatur, mengurus, mendidik, memimpin, menjaga, dan memelihara.[i]
Tarbiyah adalah usaha sadar yang dimaksudkan untuk mengantarkan peserta didik ke arah kesempurnaannya. Keberadaan tarbiyah memiliki urgensi yang sangat penting bagi seorang Muslim, baik secara pribadi maupun sosial. Al-Qur’an menyebutkan, tarbiyah dapat dijadikan sebagai sarana melepaskan diri dari kebodohan, kehinaan diri, kelemahan dan perpecahan.
Tarbiyah bertujuan agar seorang Muslim memiliki konsepsi keislaman yang jelas, utuh, dan menyeluruh. Dengan begitu, diharapkan dalam dirinya melahirkan reaksi dan efek positif baik kedalam maupun keluar. Efek kedalam, yaitu ketika konsep keislamannya membentuk keyakinan yang melandasi segala amalannya. Efek internal ini, akan melahirkan tekad yang kuat pada dirinya. sedangkan efek eksternalnya adalah, dengan konsepsi keislaman yang jelas ini, diharapkan dapat membentuk kepribadian dan identitas keislamannya.
Alhasil, setelah kepribadian keislamannya terbentuk, konsepsi pemahamannya itulah yang akan menjadi pendorong baginya untuk meningkatkan diri baik dalam penguasaan teori maupun pengalaman-pengalamannya dalam berdakwah. Pada akhirnya, tarbiyah inilah yang akan mengantarkan setiap Muslim, menjadi seorang Muslim yang kaffah, karena selain ia mempunyai pemahaman Islam yang benar, juga ia menyampaikan kebenaran Islam kepada yang lainnya. [ii]
Konsep tarbiyah ini juga, dicontohkan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, dalam proses dakwah menyebarkan Islam dan membangun peradaban, tidak terlepas dari peranan tarbiyah. Kala itu, pendidikan pemahaman keislaman dimulai dari sebuah rumah kecil bernama Darul Arqom. Dari sanalah dilahirkan para sahabat yang begitu loyalitas membela risalah Rasulullah.  [iii]



[i] Abdul Mujib, (2006), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Prenada  Media, hlm. 10-11
[ii] Jasiman, (2005), Syarah Rasmul Bayan Tarbiyah, Solo: Auliyya Press, hlm. 289-292