Islam menganjurkan perkawinan. Islam tidak mengajarkan hidup
membujang yang banyak diyakini para rahib.
Sebagaimana yang termaktub dalam sebuah hadits “Menikah itu sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka
bukan golonganku, dan menikahlah kalian sesungguhnya aku adalah orang yang
memperbanyak umat, barang siapa yang punya kemampuan maka menikahlah dan barang
siapa yang tidak punya kemampuan maka berpuasalah sesungguhnya puasa sebagai
perisai atau benteng penjagaan” ( HR Ibnu Majah).
Setelah menentukan pilihan, langkah selanjutnya adalah
penyampaian kehendak untuk menikahi calon pasangan tersebut. Penyampaian
kehendak untuk menikahi seseorang itu dinamai khitbah atau dalam bahasa
indonesianya dinamakan “peminangan”.
Menurut Sulaiman Rasjid (2003: 380), meminang adalah
menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada perempuan
atau sebaliknya dengan perantara seseorang yang dipercayai. Meminang dengan
cara tersebut diperbolehkan dalam agama Islam terhadap gadis atau janda yang
telah habis masa ‘iddahnya. Haram bagi seorang ikhwan meminang perempuan yang
masih dalam masa ‘iddah, karena
perempuan yang demikian, secara hukum masih berstatus istri bagi laki-laki yang
menceraikannya, dan ia masih diperbolehakn atau bisa kembali kepadanya.
Selain itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
proses meminang, yakni :
- Dilarang mengkhitbah seorang wanita yang telah dikhitbah orang lain sampai orang lain itu meninggalkannya. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut ini : “Sesama mukmin adalah saudara. Maka tidak halal bagi seorang mukmin, meminang seorang perempuan yang sedang dipinang oleh saudaranya, sampai nyata ia sudah ditinggalkannya.”(HR. Ahmad dan Muslim).
- Tidak boleh saling tukar cincin dengan wanita yang dikhitbah karena menyerupai kebiasaan Nasrani
- Jika ada keperluan maka temuilah wali dari wanita tersebut, karena itu lebih aman dan terhindar dari fitnah
Nadzhor
Tatkala seorang lelaki berhajat untuk memperistri
seorang wanita dan sebaliknya, maka hajat tersebut menuntut mereka untuk saling
mengenal terlebih dahulu. Sehingga saat keduanya menikah tidak timbulnya
penyesalan di kemudian hari. Dalam rangka memenuhi tuntutan hajat ini, maka
seorang lelaki yang hendak menikahi seorang wanita diizinkan untuk melakukan nadzhor
(melihat dan mengamati dengan seksama) wanita yang hendak dilamarnya.
Sebagaimana diriwayatkan
oleh Imam Muslim dari Abi Hurairah : Aku pernah bersama
Rasulullah lalu datanglah seorang lelaki, menceritakan bahwa ia menikahi
seorang perempuan dari kaum anshar, lalu Rasulullah menanyakan “Sudahkan engkau
melihatnya?” lelaki itu menjawab “Belum”. “Pergilah dan lihatlah dia”.
Nadzhor adalah melihat
perempuan yang dikhitbah. Melihat perempuan yang akan dinikahi, Dianjurkan
bahkan disunatkan oleh agama. Karena meminang calon istri merupakan pendahuluan
pernikahan. Sedangkan melihat calon istri untuk mengetahui penamilan dan
kecantikannya, dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
berbahagia.
Rasulullah bersabda: “Jika seseorang di antara kamu meminang seorang
perempuan, Sekiranya dapat melihat sesuatu yang mendorong semangat untuk
mengawininya, Hendaklah ia melakukannya (H.R Ahmad dan Abu Dawud).
Ada beberapa adab yang
harus dijaga oleh seseorang yang akan menazhor seorang wanita, di antaranya :
- Nazhor ini diperbolehkan pada wajah dan kedua telapak tangan. Begitulah pendapar jumhur ulama
- Boleh mengulangi nazhor jika ada keperluan tetapi sebatas untuk memantapkan hati saja. jika sekali sudah mantap, maka selebihnya kembali ke hukum asal yaitu haram.
- Boleh berbincang dengannya sesuai batasan syar’i untuk mendengar suaranya serta mengetahui pemikiran dan pandangannya tentang hidup berumah tangga, tentu saja dengan ditemani wali wanita tersebut.
- Jika ternyata wanita tersebut tidak menarik hati maka tidak selayaknya diceritakan pada orang lain. Sifat-sifat yang membuat hati kita tidak tertarik, hendaknya ditolak dengan baik dan bijaksana.
Referensi
Rasjid, Sulaiman, (2003), Fiqh Islam : Hukum Fiqh Lengkap, Sinar
Baru Algensindo, Bandung
Buletin Al-Furqon, edisi 4 No. 3 (Sya’ban 1430 H) Pernikahan Menurut al-Qur’an dan Sunnah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :