Agama Islam yang dibawa
oleh Rasulullah telah sempurna, tidak bisa ditambah ataupun dikurangi.
Seseorang yang berupaya menambahkan ajaran atau amalan lain dalam beribadah,
sama saja dengan dia beranggapan bahwa Islam
itu masih kurang. Atau beranggapan bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya belum
menyempurnakan Islam. Anggapan tersebut bertentangan dengan firman Allah
berikut ini ”... Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS.
al-Maidah [5]: 3). Perbuatan seperti
itu dapat disebut dengan istilah bid’ah. [1]
Bid’ah menurut
bahasa diambil dari kata bida’ yaitu
mengadakan. Maksudnya, seperti dalam firman Allah surat al-Baqarah : 117. Dalam
ayat tersebut lafadz Allah diganti dengan lafadz bady’un, yang bermakna mengadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu.[2]
Perbuatan
bid’ah terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, perbuatan bid’ah di dalam adat
istiadat (kebiasaan), seperti adanya penemuan baru di bidang teknologi. Sepanjang
dari pelaksanaan adat isitiadat yang mubah. Maka bid’ah jenis ini dari adalah
mubah. Kedua, perbuatan bid’ah di dalam berdien (berislam). Jelas, untuk yang
satu ini hukumnya haram. Karena apa yang ada di dalam dien, adalah sesuatu yang
taufiqi (tidak bisa dirubah).
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
mengadakan hal baru di dalam urusan kami, yang bukan dari urusan perkara
keagamaan (dien), maka perbuatan itu tidak akan diterima.[3]
Macam-macam
Bid'ah
1. Bid'ah Qauliyah 'itiqadiyah: perkataan
yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah,
dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus
keyakinan-keyakinan mereka.
2. Bid'ah fil ibadah,
seperti beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh-Nya. bid'ah
dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
- Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Allah Ta'ala, seperti mengerjakan shalat, shaum, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyari'atkan.
- Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat pada shalat.
- Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah yang tidak disyari'atkan, seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah saw.
- Bid'ah yang bentuknya mengkhususkan suatu ibadah yang disyari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti mengkhususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shaum dan shalat malam. Pada dasarnya, kedua ibadah itu disyari'atkan Allah, akan tetapi lain halnya bila perintah itu dikhususkan dengan pembatasan waktu, hal itu diperlukan sebuah dalil yang shahih untuk menguatkannya.[4]
Hukum
Bid'ah dalam Ad-Dien
Segala bentuk bid'ah
dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW
: “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan
urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah
bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat". (Hadits Riwayat Abdu Daud,
dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih).
Makna hadits tersebut
menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah,
sedangkan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak. Artinya, bid'ah di dalam
ibadah dan aqidah jelas hukumnya haram.
Sebab
Terjerumusnya Orang ke dalam Bid’ah
Banyak hal yang menyebabkan orang
terjerumus ke dalam perkara bid’ah. Bukan merupakan hal yang samar bagi setiap
orang, bila setiap kejadian memiliki sebab yang dengannya dapat diketahui benar
atau salahnya. Syaikh Ali Hasan bin Al-Halabi mengatakan dengan beragam
bentuknya, secara umum sebab-sebab terjadinya bid’ah dapat diuraikan sebagai
berikut:
- Bodoh terhadap hukum dan cara pemahamannya, semakin zaman menjauhi atsar risalah Islam, semakin sedikitlah ilmu dan tersebarlah kebodohan. Hal ini pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengambil ilmu dengan mencabutnya dari semua hamba-Nya, melainkan dengan mewafatkan para ulama, sehingga jika tidak ada yang tersisa seorang pun, maka manusia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya permasalahan, lalu berfatwa tanpa dibarengi ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan. (HR.Al-Bukhory dalam Kitab Al-Ilm (100), dan Muslim dalam Kitab Al-Ilm (2673)]. [5]
- Mengikuti hawa nafsu dalam menetapkan hukum, barangsiapa yang berpaling dari petunjuk-Nya, pasti dia mengikuti hawa nafsunya. Allah berfirman : Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesung- guhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesung- guhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim“ (QS. al-Qashash [28]: 50).[6]
- Ashobiyah (red.fanatik buta) terhadap pendapat orang-orang tertentu, prilaku ashobiyah dapat memisahkan seseorang dari al-haq (kebenaran). Allah berfirman : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk,” (QS. al-Baqarah [2]: 170). [7]
- Menyerupai Orang-orang Kafir, faktor inilah yang menjadi penyebab paling kuat yang dapat menjerumuskan diri kepada bid’ah. Allah berfirman : Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani lsrail berkata: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala).” Lalu Musa bersabda : Sungguh kamu sekalian mengikuti kebiasaan-kebiasaan sebelum kamu. (Qs. Al-Araaf : 138)” [8]
[1]
Mukhlish Abu Dzar (2009), Mewaspadai
Bid’ah-bid’ah di Bulan Rhamadhan, al-Furqon, Gresik, hal 1
[2]
Syeikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, (1997), Al-Wala
dan Al Bara, Pustaka Tibyan, Solo, cet. 2 hlm. 51
[3]
Ibid., 52
[4]
Ibid., 53-54
[5]
Mukhlish Abu Dzar., Op.cit. 2
[6]
Syeikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Op.cit 55
[7]
Mukhlish Abu Dzar., Op.cit. 3
[8]
Syeikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Op.cit 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :