Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, tak terkecuali dengan manusia. Pernikahan merupakan suatu cara
yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi pemeluk-Nya untuk berkembang biak.
Pernikahan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan
peranannya dan mewujudkan tujuan dari pernikahan itu sendiri. Allah berfirman :
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. ” (QS. An-Nissa [4]: 1)
Allah tidak menjadikan manusia sebagai makhluk liar. Akan tetapi untuk
menjaga kehormatan dan martabat manusia maka Allah mengadakan hukum sesuai
martabat tersebut. Dengan demikian hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan berupa pernikahan.
[1]
Pengertian
Pernikahan
Para ulama fikih agaknya memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dalam
mengartikan sebuah pernikahan. Misalnya ulama hanafiyah, pernikahan diartikan
sebagai sebuah akad yang berguna untuk memiliki dengan sengaja. Sedangkan ulama
salafiyah, memandang bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan
lafal zauj (memiliki). Maksudnya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki
atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
Dari pengertian di atas, terdapat kata Milku (memiliki) yang menjadi
garis besar dari pendapat tersebut. Adapun kata al-milku sendiri dalam Kitab Fikih al Mazalu al Aba’ah, al Maktabah, al
Tijariyatul kubra, mengandung tiga macam arti, yaitu :
- Al-milku ar raqabah, hak untuk memiliki sesuatu secara keseluruhan dengan jalan membeli, warisan, hibah dan sebagainya.
- Al-minku al manfaat, yaitu hak untuk memiliki kemanfaatan benda dengan menyewakannya.
- Al-minku al intifa, yaitu hak untuk memiliki penggunaan atau pemakaian suatu benda tanpa orang lain berhak menggunakannya.[2]
Dari ketiga pengertian di atas, al-milku dalam
hal pernikahan adalah al-milku bi makna manfaat. Maksudnya, dengan diadakan
akad nikah, maka suami dan istri dapat saling memanfaatkan untuk mencapai
kehidupan dan keharmonisan rumah tangga.
Dari beberapa pengertian tersebut menurut Slamet
Abidin dan Aminudin, pernikahan adalah suatu akad antara laki-laki dan
perempuan yang dilakukan oleh wali (pihak lain) atas dasar kerelaan dan
kesukaan dari kedua belah pihak. Tanpa melanggar sifat dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan. [3]
Tujuan
Pernikahan
Setiap orang memiliki tujuannya masing-masing dalam melakukan
pernikahan. Namun umumnya, pernikahan dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan
dan kesejateraan. Rasulullah bersabda, “nikahilah perempuan karena empat
perkara. karena harta, keturunan, kecantikan, dan karena agama (HR. Bukhari
Muslim).
Adapun
tujuan secara rincinya, dapat dikemukakan sebagai berikut ini :
- Menyalurkan kecenderungan seks, semua manusia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kecenderungan seks. Hanya saja kadar dan intensitasnya yang berbeda. Dengan pernikahan, laki-laki dapat menyalurkan nafsunya dengan seseorang yang sudah sah dengannya. Sebagaimana dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah [2]:223 isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
- Memperoleh keturunan, mempunyai anak memang dambaan orang tua. Namun itu bukanlah kewajiban, melainka sebuah anugerah.
- Mengikuti sunah nabi, Rasulullah saw menyuruh kepada umatnya untuk menikah, sebagaimana dalam hadits : “Nikah itu sunahku, maka barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku maka ia bukan umatku (HR. Ibnu Majah).”
- Menjalankan perintah Allah, Allah memerintahkan kepada umatnya untuk menikah apabiila telah ma;u. sebagaimana dalam hadits nabi : “dari Abdullah bin Mas’ud, sesungguhnya rasul bersabda, wahai kaum muda menikahlah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan farji. Barangsiapa yang tidak mampu, berpuasalah. Karena berpuasa itu merupakan benteng baginya. (mutaafaq alaih)[4]
Pernikahan
yang Dilarang Syara
1.
Nikah Sighar (pertukaran)
Nikah sighar adalah apabila di antara dua
orang lelaki saling menukarkan pernikahan dengan seorang perempuan yang di
bawah kekuasaan mereka masing-masing tanpa adanya mahar pada kedua pernikahan
tersebut.
Hukum nikah semacam ini menurut jumhur ulama
adalah haram. Sebagaimana menurut imam maliki, bahwa pernikahan semacam ini
tidak sah dan dapat dibatalkan.
2.
Nikah Mut’ah
Nikah muth’ah merupakan nikah yang
dilakukan dalam waktu tertentu dan bersifat sementara. Tentang larangan muth’ah
bersifat mutawatir (memiliki
kekuatan hukum yang pasti karena banyaknya orang yang meriwayatkan).
Pernikahan semacam ini masih menjadi perselisihan, khususnya dalam hal waktu
terjadinya pelarangan tersebut.
Riwayat pertama menyebutkan bahwa
Rasulullah melarangnya
ketika terjadi perang Khaibar. Kedua, menyebutkan pada tahun kemenangannya (amul fathi).
ketiga, menyebutkan pada tahun dilaksanakannya haji wada’. keempat,
mengatakan pada tahun dilaksanakannya umrah qada, sedangkan kelima,
menyebutkan ketika terjadi perang Autas.[5]
3.
Nikah Muhallil
Nikah muhallil adalah nikah yang
menghalalkan mantan istri yang telah ditalak tiga kali. Menurut pendapat jumhur
ulama, bahwa nikah tersebut tidak sah dan dapat dibatalkan. [6]
[2] Abdurahman al-Jaziri,
kitab Fikih almazalu al aba’ah, al
maktabah, al tijariyatul kubrra, Mesir hal 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :