Dakwah
merupakan satu misi yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang sudah terkena
kewajiban tersebut. Karena berdakwah merupakan salah satu bukti dari
konsekuensi menguswah kepada Rasulullah.
Dakwah secara bahasa berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan, yang berarti
ajakan, seruan, undangan, atau panggilan. Dakwah bukan sekadar menyampaikan
ayat-ayat Allah, namun juga, sekaligus mengajak orang-orang yang masih berada
dalam sistem bathil untuk bergerak menuju kehidupan sistem yang haq. Walaupun
demikian, dalam berdakwah ada yang namanya
metode, tahapan, etika, dan aturan lainnya yang perlu diperhatikan, sehingga
apa yang dilakukan benar sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah
(Kusnawan, 2009: 2).
Ahmad
Amrullah (1996 : 66) membagi
beberapa tahapan dakwah menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin), Kedua, tahap penataan (tandhim),
dan Ketiga tahap
perpisahan atau tahap pendelegasian amanah dakwah kepada generasi penerus. Pada
setiap tahapannya memiliki karakteristik kegiatan yang relevan dengan masalah
yang dihadapi. Dalam tahapan ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah
sebagai proses perwujudan realitas Islam.
1.
Model Dakwah dalam
Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada tahap ini kegiatan utamanya
adalah dakwah bil lisan sebagai
ikhtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat. Interaksi Rasulullah
dengan umatnya mengalami ekstensi secara bertahap. Yakni kepada orang-orang
terdekat, kemudian kepada masyarakat umum, sembunyi-sembunyi maupun
terang-terangan. Sasarannya, bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam
kepribadian mad’u. Kemudian apa yang telah diterima dan dicerna dapat
diekspresikan dalam ghirah dan akidah.
Pada tahapan takwin, hakikatnya
Rasulullah saw sedang melaksanakan dakwah untuk pembebasan akidah masyarakat
dari sistem yang dipersonifikasikan dalam bentuk berhala (asnam) menuju sistem akidah yang hanya mengikatkan diri dengan memurnikan
ketaatan hanya kepada Allah swt.
Paling tidak, ada dua hal yang dibangun
Rasulullah dalam tahap ini. Pertama, Rasulullah meletakan tata sosial Islam dalam
bentuk akidah, ukhuwah islamiyah, ta’awun,
dan shalat. Demikian juga tauhid, telah menjadi instrumen sosiologis dalam
mempersatukan para sahabat dan jamaah muslim lainnya. Kedua, Rasulullah
membangun jamaah Islam swadaya yang akan menjadi kegiatan dakwah di Yatsrib.
Hal ini dibangun ketika Rasulullah mengadakan perjanjian bai’atul Aqabah I dan
II. Inilah sebuah jembatan yang akan membuka perspektif dan strategi baru dakwah
Nabi saw. Karena bai’at merupakan prinsip strategis dari pengorganisasian Islam.
Itu sebabnya, para sahabat rela mengganti nyawa, pikiran, dan waktunya demi
Islam, karena sudah terikat perjanjian aqabah ini.
2.
Model Dakwah dalam
Tahap Penataan (Tandzim)
Tahapan tandzim ini merupakan bentuk dari institusionalisasi Islam secara
menyeluruh. Tahap ini diawali dengan berhijrah. Dari segi strategi dakwah,
hijrah dilakukan ketika tekanan kultural atau stuktural sudah sedemikian
mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami
involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
Setelah Nabi saw diperintahkan hijrah
ada beberapa langkah Nabi saw yang mendasar yang perlu diperhatikan. Pertama, membangun masjid Quba dan
Nabawi di Madinah. Kedua, mengikat
ukhuwah islamiyah antara Muhajirin dan Anshar, dan ketiga, membuat “Piagam Madinah” yang disepakati berbagai suku termasuk
kaum Yahudi yang tinggal di Madinah.
Tiga peristiwa dakwah yang strategis
itu memberikan kerangka kerja dakwah Islam. Berpijak dari masjid, Nabi saw menata
dan mengembangkan masyarakat Islam. Kemudian,
untuk memperkuat basis komunitas muslim awal, Rasulullah mempresentasikan
kekuatan ukhuwah islamiyah di Madinah dengan menyatukan ikatan persaudaraan
antara kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah terbangun kekuatan, Nabi saw menciptakan
landasan kehidupan politik Madinah dengan mengadakan perjanjian politik dengan
semua kekuatan sosial yang ada.
3.
Model Dakwah dalam
Tahap Pelepasan dan Kemandirian (Taudi’)
Pada tahap ini, umat Islam telah siap
menjadi masyarakat mandiri. Karena itu umat Islam dapat dilepas secara manajerial,
untuk melanjutkan perjuangan dakwah sebagaimana yang telah dipolakan oleh
Rasulullah
Referensi :
Amrullah
Ahmad, 1996, Dakwah Islam Sebagai Ilmu Sebuah kajian Epistemologi dan
Stuktur Keilmuan Dakwah, Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara
Aep Kusnawan, 2009, Ilmu Dakwah [Kajian
Berbagai Aspek], Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :