1/30/2013

Pandangan Al-Qur’an Terhadap Ilmu Pengetahuan



Al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan yang didasarkan pada hasil penelitian dan perenungan manusia. Melainkan, merupakan kitab petunjuk bagi manusia yang dapat mengajarkan apa-apa yang diketahuinya. Di samping itu, Al-Qur’an juga mengajarkan apa-apa yang tidak dapat diketahui manusia karena berada di luar jangkauan penelitian dan perenungan.
Sejak pertama kali diturunkan,  Al-qur’an memberikan dorongan yang besar kepada manusia untuk menuntut ilmu. Allah SWT berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. QS. al-Mujadalah: 11)[1]
Ilmu dalam bahasa Arab diambil dari kata ‘ilm, artinya kejelasan atau al fahm (memahami sesuatu). Kata ilmu dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 854 kali dalam berbagai bentuk. Kata ilmu sendiri sering disandingkan dengan kata pengetahuan. Masing-masing memang memiliki arti tersendiri. Namun keduanya terdapat kaitan yang tidak dapat dipisahkan. [2]

Fungsi dan Kegunaan Ilmu Pengetahuan
Secara umum, Al-Qur’an menyatakan bahwa orang yang berilmu tidak sama dengan orang yang tidak berilmu. Allah SWT berfirman dalam surat Azumar ayat 9, Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"  Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Dari berbagai ayat yang menganugerahkan kegunaan ilmu pengetahuan dapat disimpulkan, bahwa fungsi dan kegunaan  ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut :
1.     Menyadari jati diri dan memahami berbagai kebaikan yang terkandung dalam ajaran syariat. Allah SWT berfirman, “Dan Berpuasa lebih baik bagimu jika mengetahui,” (QS Al-Baqarah: 184).
2.    Mengetahui rahasia alam, orang yang dapat menangkap pelajaran dari penciptaan alam raya adalah orang-orang yang mendayagunakan akalnya. Fakta tersebut sekaligus menggambarkan adanya manfaat yang harus oleh orang-orang yang memerhatikan fenomema alam. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. al-Baqarah: 164).
3.    Terpenuhinya tuntutan hidup yang lebih baik, dengan ilmu pengetahuan, manusia bisa merekayasa dan menciptakan inovasi dengan memanfaatkan sumber daya yang telah Allah sediakan jauh lebih besar. Allah berfirman, Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu (QS al-An’am : 142)[3].

Cara Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mengetahui sesuatu terdiri atas tiga macam, yaitu indera, akal, dan hati. Sebagaimana yang termaktub dalam surat an-Nahl: 78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kau pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.

Pengamatan Melalui Indera
Al-Qur’an menjelaskan adanya pengetahuan yang diperoleh melalui indera dengan cara mengamati. Dalam surat al-Ankabut : 20, Allah SWT menyuruh manusia untuk berjalan di muka bumi dan memerhatikan percipataan manusia. Atau dalam surat Yunus : 101, Allah SWT memerintahkan manusia untuk memperhatikan apa yang ada di langit dan memerhatikan apa yang ada di bumi.
Namun tidak semua pengetahuan yang hendak diketahui dapat diperoleh dengan indera. Karena keterbatasan kemampuan inderawi, manusia tidak dapat menjangkau hal-hal yang ada dibalik penangkapan indera tersebut. Karena itu, Allah SWT mengecam orang-orang yang hanya mengandalkan inderanya untuk memeroleh pengetahuan lebih dalam, Allah SWT berfirman :’’ dan ingatlah ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang. Karena itu, kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya,” (QS al-Baqarah : 55).

Pengamatan Melalui Akal
            Keterbatasan dan kelemahan indera, disempurnakan oleh akal. Akal dapat mengoreksi kesalahan pengetahuan inderawi sebab akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui objek-objek abstrak yang logis. Seperti halnya pengetahuan bahwa Allah SWT itu ada Mahakuasa dan Mahapenyayang diperoleh dengan menggunakan akal, bukan dengan menggunakan indera.

Pengamatan Melalui Suara Hati
Selain indera dan akal, potensi yang dimiliki manusia untuk mengetahui pengetahuannya adalah potensi hati. Atau menurut Imam al-Ghazali yang disebut dhamir. Potensi ketiga ini dapat memberi peluang kepada manusia untuk memeroleh pengetahuan dengan lebih baik.  Jika akal hanya dapat mengetahui objek abstrak yang logis, potensi hati dapat mengetahui objek abstrak yang supra logis (ghaib).  
Al-Ghazali menjelaskan bahwa pengetahun yang diterima para nabi dan Rasul Allah, bukanlah melalui indera dan akal, melainkan melalui hati yang disebut wahyu. Sebagaimana dalam firman-Nya : “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. asy-Syu’ara : 52).
Untuk mengasah kemampuan hati ini, al-Qur’an mengajurkan agar manusia sering-sering menyaksikan kekuasaan Allah SWT pada penciptaan bumi serta berbagai peristiwa yang terjadi padanya[4].


[1] Rosyanti, Imas (2002) Esensi Al-Qu’an, CV Pustaka Setia, Bandung, halaman 9-10
[2] Shihab, M Quraish, (1996), Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung cetakan kedua,
[3] Rosyanti, Imas., Op.cit., 29-33
[4] Hadhiri, Chairuddin, (1996), Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insan Press, Jakarta

1 komentar:

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :