12/04/2013

HIBAH DALAM PANDANGAN ISLAM


Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di antaranya adalah dengan hibah           .[i]
Kata "hibah" berasal dari bahasa Arab dan telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata hibah merupakan masdar dari kata wahaba, yang artinya pemberian. [ii]
secara etimologis berarti melewatkan atau menyalurkan. Dengan demikian, hibah berarti telah disalurkannya pemberian dari tangan pemberi kepada tangan yang diberi. [iii]
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan.[iv] Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.[v]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa hibah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).[vi]
Dasar hukum hibah ini sama seperti hadiah. Keduanya disunatkan, karena merupakan kebaikan yang sangat dianjurkan. Allah SWT berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai...” (QS. al-Imran [3]: 92). [vii]
Setiap barang boleh dijual ataupun dihibahkan. Belum tetap status hibah kecuali barang tersebut, sudah diterima. Apabila barang tersebut sudah diterima, tidak boleh bagi pemberi meminta kembali hibahnya, terkecuali pemberi dari hibah itu adalah ayahnya. Pernyataan ini didukung oleh hadits berikut: Rasulullah bersabda: ”orang yang meminta kembali akan hibahnya, ia seperti anjing yang muntah, yang menelan lagi muntahnya. (Hadits Muttafaq alaih).[viii]





[i] Chairuman Pasaribudan Suhardi, (1996), Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 113
[ii] Mahmud Yunus, (1989) Kamus Arab Indonesia, Jakarta : Hidakarya Agung, hlm 476
[iii] Chairuman Pasaribudan Suhardi, op.cit, hlm. 113
[iv] Sayid Sabiq, (1988), Fikih Sunnah Jilid 14, Bandung: PT. Al-Ma'arif, hlm. 167
[v] Sulaiman Rasjid, (2003), Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, cet. 36, hlm. 326
[vi] Moch. Anwar, (1991), Fiqh Islam, Bandung: PT. al-Ma’arif, hlm. 148
[vii] Abu Bakar Jabir el-Jazairi, (1991), Pola Hidup Muslim, Bandung: Rosda Karya, hlm. 153
[viii] Moch. Anwar,op.cit., hlm. 147-148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :