Salah satu dari anjuran agama Islam adalah tolong-menolong
antara sesama muslim ataupun non muslim. Bentuk tolong-menolong itu
bermacam-macam, bisa berupa benda, jasa, jual beli, dan lain sebagainya. Salah satu di
antaranya adalah dengan hibah .[i]
Kata "hibah" berasal dari
bahasa Arab dan telah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata hibah merupakan
masdar dari kata wahaba, yang artinya pemberian. [ii]
secara etimologis berarti melewatkan
atau menyalurkan. Dengan demikian,
hibah berarti telah disalurkannya pemberian dari tangan pemberi kepada tangan
yang diberi. [iii]
Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok
persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia
hidup, tanpa adanya imbalan.[iv]
Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan bahwa hibah adalah memberikan zat
dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya.[v]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa hibah merupakan
suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa
ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu
dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya
dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).[vi]
Dasar hukum hibah ini sama seperti hadiah. Keduanya
disunatkan, karena merupakan kebaikan yang sangat dianjurkan. Allah SWT
berfirman : “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai...”
(QS. al-Imran [3]: 92). [vii]
Setiap barang boleh dijual
ataupun dihibahkan. Belum tetap status hibah kecuali barang tersebut, sudah
diterima. Apabila barang tersebut sudah diterima, tidak boleh bagi pemberi
meminta kembali hibahnya, terkecuali pemberi dari hibah itu adalah ayahnya.
Pernyataan ini didukung oleh hadits berikut: Rasulullah bersabda: ”orang
yang meminta kembali akan hibahnya, ia seperti anjing yang muntah, yang menelan
lagi muntahnya. (Hadits Muttafaq alaih).[viii]
[i] Chairuman Pasaribudan Suhardi,
(1996), Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm. 113
[ii] Mahmud Yunus, (1989) Kamus Arab Indonesia, Jakarta :
Hidakarya Agung, hlm 476
[iii] Chairuman Pasaribudan Suhardi,
op.cit, hlm. 113
[v] Sulaiman Rasjid, (2003), Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru
Algensindo, cet. 36, hlm. 326
[vi] Moch. Anwar, (1991), Fiqh Islam, Bandung: PT. al-Ma’arif,
hlm. 148
[vii] Abu Bakar Jabir el-Jazairi,
(1991), Pola Hidup Muslim, Bandung:
Rosda Karya, hlm. 153
[viii] Moch. Anwar,op.cit., hlm.
147-148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :