12/26/2013

Mengangkat Pemimpin Non Muslim

Islam telah menetapkan aturan yang khas bagi umatnya, termasuk mengatur interaksi antara muslim dengan yang non muslim. Adapun yang termasuk non muslim di sini adalah para ahli kitab, orang musyrik, dan kaum-kaum di luar muslim lainnya. Islam memiliki batas-batas yang tidak bisa dilanggar.  [i]

Di antara bentuk tanggung jawab sosial dalam Islam dan salah satu karakteristik umumnya adalah kekuasaan dalam masyarakat Islam diberikan secara bergiliran terhadap mereka yang mampu.  Tidak boleh dimonopoli kekuasaan tersebut oleh dirinya sendiri, dan anak cucunya. Karena itulah Islam menganjurkan untuk terjadi adanya pergantian kepemimpinan.

Akan tetapi dalam konsep Islam sendiri, tidak pantas dan tidak laik bila umat muslim mengangkat atau mendelegasikan seorang pemimpin dari kalangan non -muslim. Sebab, adanya kepemimpinan tersebut, tak lain diperuntukkan untuk menjalankan syaria’t Islam di muka bumi. Hal itu, tentu saja tidak bisa direalisasikan bila pemimpinnya non -muslim. Karena itu, salah satu syarat sahnya kepemimpinan di mata Allah, adalah pemimpin tersebut beragama Islam. Sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut : “Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai wali-wali, sebagian mereka adalah wali (penolong, pemimpin, dan lain-lain) untuk sebagian yang lain..." (QS. Al Maidah : 51).[ii]

Imam al-Ghazali mengatakan, ayat di atas merupakan perintah yang jelas terhadap kaum muslim untuk tidak memilih pemimpin yang non-muslim. Apalagi yang zalim dan sering menghinakan Islam.[iii] 

Dalam ayat lain, Allah juga memberikan ancaman terhadap kepimimpinan yang dipimpin oleh non-muslim dalam firman-Nya berikut ini : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali  dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (QS. an-Nissa [4]: 144). [iv]



[i] Adnan Hasan Salih, (1999), Tanggung Jawab Ayah terhadap anak laki-laki,Jakarta: gema Insan pers hlm. 222
[ii] , Ali Abdul Halim, Fikih Responsibilitas, Jakarta: gema Insan Pers, hlm. 179
[iii] Yusuf Qarhawi, (1998), Kebangkitab Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insan Pers, hlm. 168
[iv] Adnan Hasan Salih, op.cit, hlm. 222

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :