Di antara bentuk tanggung jawab sosial
dalam Islam dan salah satu karakteristik umumnya adalah kekuasaan dalam
masyarakat Islam diberikan secara bergiliran terhadap mereka yang mampu. Tidak boleh dimonopoli kekuasaan tersebut
oleh dirinya sendiri, dan anak cucunya. Karena itulah Islam menganjurkan untuk
terjadi adanya pergantian kepemimpinan.
Akan tetapi dalam konsep Islam sendiri,
tidak pantas dan tidak laik bila umat muslim mengangkat atau mendelegasikan
seorang pemimpin dari kalangan non -muslim. Sebab, adanya kepemimpinan
tersebut, tak lain diperuntukkan untuk menjalankan syaria’t Islam di muka bumi.
Hal itu, tentu saja tidak bisa direalisasikan bila pemimpinnya non -muslim. Karena
itu, salah satu syarat sahnya kepemimpinan di mata Allah, adalah pemimpin
tersebut beragama Islam. Sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut : “Wahai orang-orang yang beriman jangan kalian
menjadikan Yahudi dan Nashrani sebagai wali-wali, sebagian mereka adalah wali
(penolong, pemimpin, dan lain-lain) untuk sebagian yang lain..." (QS.
Al Maidah : 51).[ii]
Imam al-Ghazali mengatakan, ayat di atas
merupakan perintah yang jelas terhadap kaum muslim untuk tidak memilih pemimpin
yang non-muslim. Apalagi yang zalim dan sering menghinakan Islam.[iii]
Dalam ayat lain, Allah juga memberikan
ancaman terhadap kepimimpinan yang dipimpin oleh non-muslim dalam firman-Nya
berikut ini : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan
yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu). (QS. an-Nissa [4]: 144). [iv]
[i] Adnan Hasan Salih, (1999),
Tanggung Jawab Ayah terhadap anak laki-laki,Jakarta: gema Insan pers hlm. 222
[ii] , Ali Abdul Halim, Fikih
Responsibilitas, Jakarta: gema Insan Pers, hlm. 179
[iii] Yusuf Qarhawi, (1998),
Kebangkitab Islam dalam Perbincangan Para Pakar. Jakarta: Gema Insan Pers, hlm.
168
[iv] Adnan Hasan Salih, op.cit, hlm. 222
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :