12/04/2013

Suap-Menyuap dalam Pandangan Islam


Dalam bahasa Arab, Suap-menyuap atau sogokan diistilahkan dengan risywah. Kata risywah itu sendiri berasal dari kata rasya’ yang berarti, tali yang menyampaikan timba ke air.[i]
Secara terminologi, merupakan pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk mendapatkan hal yang diinginkan dengan cara yang tidak dibenarkan. Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang. Maka wajar bila ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum, bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebab sogokan akan membuat hukum menjadi oleng dan tidak adil. Selain itu tata kehidupan yang menjadi tidak jelas. [ii]
Allah SWT berfirman : Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Kalimat `akkaaluna lissuhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut Imam al-Hasan dan Said bin Jubair adalah memakan harta hasil sogokan atau risywah. [iii]
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan sogokan dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini : Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Kalau diperhatikan lebih seksama, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari sogokan, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat sogokan itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu yang menerima, memberi, dan mediator sogokan.  [iv]



[i] Abdullah bin Abd. Muhsin, (2001), Suap dalam Pandangan Islam, Jakarta: Gema Insan , hlm. 9
[ii] Anwar Sarwat, 2009, Kitab Muamalat, Kampus Syariah, hlm. 245-250
[iii] Ahmad Syaryashy, (1981)Yasalunaka fi Ad-Din wa al-Hayat. Beirut: Dar Al-Jail, hlm. 81
[iv] Anwar Sarwat,op.cit, hlm. 251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :