Dikatakan
demikian karena dahulu (waktu zaman jahiliyah) untuk melihat pertanda
kehidupan, orang-orang akan melepas seekor burung. Bila burung tersebut terbang
ke arah kanan, maka akan dianggap membawa keberuntungan atau sebaliknya, begitupun
seterusnya.[ii]
Menurut Syaikh
Muhammad bin Salih al-Utsmain, adanya tathayur telah menafikan tauhid dari dua
segi, pertama orang yang tathayur tidak memiliki rasa tawakkal. Kedua, ia
bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya, juga erat kaitannya dengan
yang namanya takhayul. [iii]
Ibnu Qayim berpendapat, orang yang
tathayur itu tersiksa jiwanya, sempit dadanya,
tidak pernah tenang, dan mudah terpengaruhi dengan apa yang didengar dan
dilihatnya. Banyak memelihara hal-hal yang mudharat. Allah SWT sendiri
menggambarkan orang yang memiliki sifat tathayur ini dalam salah satu
firman-Nya : Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Itu adalah
karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan
sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui,” (QS. al-Araaf [7]: 131).[iv]
Tathayur adalah satu hal yang berdiri
tanpa landasan ilmu pengetahuan atau kenyataan yang benar. Tathayur hanya
berjalan mengikuti kelemahan dan membenarkan dugaan yang kerap kali salah.
Jumhur ulama sepakat, bila tathayur ini termasuk syirik. Sebab itu, dosanya
tidak akan diampuni. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut :
Rasulullah SAW bersabda : ada tiga perkara yang tidak akan bisa selamat satu
pun. Yaitu, menuduh, hasud, dan tathayur. Karena itu, kalau kamu menuduh jangan
kamu nyatakan, dan kalau kamu hasud jangan lanjutkan, dan kalau kamu tathayur jangan kamu gagalkan
pekerjaanmu. (HR. Thabrani). [v]
[i] Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
(2006) Syarah Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Bogor : Pustaka Imam Syafi’i, hlm.
478
[ii] Salim bin Ied, (2005),
Ensiklopedi larangan menurut alqur’an dan sunnah, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 122
[iii] Yazid bin Abdul Qadir Jawas.,
op.cit, hlm. 479
[iv] Salim bin Ied, op.cit, hlm. 119
[v] Yusuf Qardhawi, (1987) Halal dan
Haram dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, hlm. 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :