Selain cenderung mencintai harta dan
pasangan lawan jenis, naluri manusia lainnya yang Allah SWT berikan adalah
kecenderungan mencintai tahta (jabatan).[i] Dalam
sebuah riwayat dikatakan, maksud jabatan dalam pandangan Islam sendiri
merupakan sesuatu yang dapat menghasilkan celaan, yang kedua adalah penyesalan,
dan yang ketiga adalah adzab di hari kiamat.[ii]
Karena itu, agar tidak terjebak menjadi
budak jabatan, maka Islam melarang umatnya untuk meminta jabatan dengan sengaja.
Sebab, seseorang yang meminta dan menginginkan jabatan atau posisi terhormat,
kemungkinan besar ia akan merendahkan agamanya demi mencapai atau
mempertahankan kedudukan yang telah diraihnya.[iii]
Rasulullah Saw. melarang umatnya untuk
meminta dan berusaha mendapatkan suatu jabatan. Sebagaimana yang termaktub
dalam hadits berikut: kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini
kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah pernah
bersabda, wahai Abdurahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan.
Sebab, jika engkau meminta jabatan tanpa memintanya terlebih dahulu, engkau
akan diberi pertolongan dalam mengembannya. Sedang, jika engkau memangku
jabatan dan sebelumnya engkau memang memintanya, engkau akan terbebani dalam
mengembannya. (HR. Bukhari). Jumhur ulama berpendapat, walaupun hadits ini
ditujukkan kepada Abdurahman bin Samurah, namun pada hakikatnya, hadits itu
diperuntukkan untuk seluruh umat Muslim.
Dalam Islam, perkara kepemimpinan
bukanlah hal yang main-main, karena yang namanya pemimpin dia akan
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Rasulullah Saw. pernah berpesan, Sesungguhnya
jabatan itu merupakan suatu amanah. Kelak pada hari kiamat, jabatan itu akan
menjadi sumber kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi mereka yang memangkunya
dengan benar dan mampu menunaikan apa yang telah menjadi kewajibannya. (HR.
Muslim) [iv]
[i] Didin Hafidhudin, (2003), Islam
Aplikatif, Jakarta: Gema Insan Pers, hlm.47
[ii] Salim bin Ied, (2005),
Ensiklopedi larangan menurut alqur’an dan sunnah, Bogor: Pustaka Imam Syafi’i, hlm. 400
[iii]Abdul Aziz bin Fathi, (2007) Ensiklopedi
Adab Islam Jilid 1, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’I, hlm. 140
[iv] Imam Nawawi, (2006), Ringkasan
Riyadhus Shalihin, Bogor : Irsyad Baitus Salam, hlm. 307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :