12/04/2013

Hubungan Akidah Islam dengan Akhlak


Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu menciptakan kesadaran diri bagi manusia untuk berpegang teguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Keberadaan akhlak memiliki peranan yang istimewa dalam akidah Islam. Akidah tanpa akhlak, seumpama sebatang pohon yang tidak dapat dijadikan tempat berlindung di saat kepanasan, dan tidak pula ada buahnya yang dapat dipetik. Sebaliknya akhlak tanpa akidah hanya merupakan layang-layang bagi benda yang tidak tetap, dan selalu bergerak.
Islam menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia, dan menjadikannya sebagai kewajiban di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak memberikan wejangan akhlak semata, tanpa didasari rasa tanggung jawab. Bahkan keberadaan akhlak, dianggap sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama itu, tersusun dari akidah dan perilaku. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut: dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Orang Mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya,” (HR. Tirmidzi).
Dari hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa akhlak itu harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup disimpan dalam hati, namun harus dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. [i]
Dengan demikian, untuk melihat kuat atau lemahnya iman dapat diketahui melalui tingkah laku (akhlak) seseorang, karena tingkah laku tersebut merupakan perwujudan dari imannya yang ada di dalam hati. Jika perbuatannya baik, pertanda ia mempunyai iman yang kuat; dan jika perbuatan buruk, maka dapat dikatakan ia mempunyai Iman yang lemah.[ii]
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik, merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk, adalah perilaku-perilaku yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun, secara kasat mata perilaku itu kelihatannya baik. Namun, jika titik tolaknya bukan karena iman, hal tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah. Perbuatan itu, diibaratkan seperti fatamorgana di gurun pasir. [iii]


[i] Rosihan Anwar, (2008), Akidah Akhlak, Bandung : Pustaka Setia, hlm. 201-202
[ii] Asmaran As, (2002), Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm.110.
[iii] Hamzah Ja’cub, (1978), Ethika Islam, Jakarta: Publicita, hlm. 16

3 komentar:

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :