12/04/2013

RUJUK DAN KEDUDUKANNYA


Banyak suami yang menceraikan istrinya tidak dengan pertimbangan yang matang, sehingga setelah terjadi perceraian, timbullah penyesalan, baik dari satu atau kedua belah pihak. Dalam keadaan menyesal itu, seringkali timbul keinginan untuk kembali berkeluarga. Rujuk menjadi solusi yang dapat memecahkan permasalahan tersebut. [i]
Dalam ilmu fiqh, ada istilah ruju’ atau raj’ah, keduanya memiliki makna yang sama. Kata rujuk berasal dari kata raja’a-yarji’u-rujk’an yang berarti kembali dan mengembalikan. Sedangkan menurut Asy-Syafi’i, rujuk adalah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah masa ‘iddah, setelah terjadinya talak raj’i yang dilakukan mantan suami terhadap mantan istrinya dengan ucapan tertentu. [ii]
Rujuk merupakan upaya membangun kembali kehidupan perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan rumah tangga. Kalau membangun kehidupan berumah tangga untuk yang pertama kalinya disebut perkawinan, maka melanjutkan hal itu bisa disebut dengan rujuk. Dengan demikian kedudukan rujuk  sama dengan kedudukan perkawinan.
Mengenai hukum rujuk sendiri, para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan apabila mantan suami tersebut bermaksud untuk memperbaiki hubungan dengan mantan istrinya, maka rujuk itu menjadi sunat. Allah berfirman : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. al-Baqarah [2]: 229). [iii]
Hukum rujuk bisa dikatakan wajib manakala suami yang mentalak istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak. Bisa juga jatuh menjadi makruh apabila perceraianlah yang lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami istri). Sedangkan bisa menjadi haram, manakala niat suami untuk rujuk hanya untuk kembali menyakiti mantan istrinya tersebut. [iv]


[i] Amir Syarifudin, (2009), Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, hlm 240
[ii] Abdul Rahman Ghozali, (2008), Fikh Munakahat, Jakarta: Kencana, hlm. 285-286
[iii] Amir Syarifudin, op.cit, hlm. 339
[iv] Sulaiman Rasjid, (2003), Fiqh Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo, cet. 36, hlm. 418

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :