12/04/2013

Tercelanya Dengki


Dalam kehidupan ini, sudah menjadi kehendak Allah SWT ada sekelompok manusia yang mendapatkan karunia lebih dari yang lain. Perbedaan itu, bila tidak disikapi dengan benar, akan menimbulkan sifat dengki, atau dalam bahasa Arab disebut hasad. [i]
Menurut Imam Ghazali, dengki adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain, dan ingin agar orang itu kehilangan kenikmatan tersebut. Pengertian ini didasarkan pada hadits berikut: “Ingatlah bahwa nikmat Allah itu ada musuhnya.” Seseorang pun bertanya, “Siapa mereka itu?” Nabi SAW menjawab, “yaitu orang yang dengki akan karunia Allah yang diberikan kepada orang lain,” (HR. Tabrani). [ii]
Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu,” (QS. an-Nissa [4]: 32)
Di antara sifat buruk manusia yang banyak merusak kehidupan adalah dengki. Orang yang bersifat dengki sudah pasti akan menderita, sebab hatinya selalu diliputi kecemasan dan ketidaktenangan. Sebagaimana dalam keterangan hadits berikut: dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Jauhilah diri kalian dari sifat dengki, karena sesungguhnya dengki itu memakan pahala kebajikan, sebagaimana api memakan kayu,” (HR. Abu Dawud No 1242).[iii]
Dengki merupakan perbuatan tercela. Karena mengharapkan hilangnya nikmat orang lain. Namun demikian, apabila perasaan dengki yang dimiliki itu dimaksudkan sebagai motivasi bagi diri agar lebih baik. Maka sifat semacam itu diperbolehkan. Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut “Tidak dibenarkan adanya kedengkian itu, melainkan dalam dua hal, yaitu seseorang yang dikaruniai harta, kemudian dipakainya untuk yang hak sampai habis. Kedua, seseorang yang dikaruniai ilmu, kemudian ia mengamalkannya dan mengajarkan ilmunya itu kepada orang lain,” (HR. Abu Dawud No. 4257) [iv]




[i] Rosihan Anwar (2008), Akidah Akhlak, Bandung : Pustaka Setia, cet. , hlm. 263
[ii] Imam Ghazali, Mutiara ihya Ulumudin, Bandung: Mizan, hlm. 252-253
[iii] Rosihan Anwar, op.cit., hlm. 262-263
[iv] Ibnu Daqieq al-Ied, (2001),  Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, Yogyakarta: Media Hidayah, cet. 10, hlm. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :