Agama Islam tidak memandang manusia seperti malaikat yang
tidak mempunyai kesalahan dan dosa. Kewajiban
seorang Mukmin hanyalah senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, salah satunya
dengan bertaubat.
Taubat menurut bahasa adalah taba yang berarti kembali, hamba Allah yang bertaubat adalah orang
yang kembali dari sesuatu. Misalnya kembali dari sifat-sifat yang tercela
menuju sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju
perintah-Nya, kembali dari maksiat menuju ketaatan.
Seseorang bertaubat, karena ia menyadari akan perbuatan
tidak baiknya yang telah merugikan orang lain atau dirinya. Oleh karena itu, ia
berusaha untuk tidak mengulangi kesalahannya dan diganti dengan amalan-amalan
yang baik yang lebih berguna. Sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dalam
firman-Nya: “Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.”
(QS. an-Nuur [24]: 31).
Taubat yang baik, yaitu menyesali perbuatan dosa dalam hati,
lalu membaca istigfar atau memohon ampun pada Allah dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi. Bila kesalahan tersebut menyangkut orang lain, bersegeralah
meminta maaf kepada yang bersangkutan. Setelah itu ubahlah sikap-sikap buruk
dengan akhlak yang terpuji.[i]
Sebagaimana yang termaktub dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda: Bertakwalah kepada Allah dimana
saja engkau berada, dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti
akan menghapuskannya.” (HR. Tirmidzi). [ii]
Tingkatan Orang Bertaubat
Menurut Imam Ghazali, tingkatan orang yang bertaubat itu ada
tiga macam, yaitu :
1. Taubat
Nasuha, yaitu
orang yang bertaubat dengan sebenar-benarnya. Sekuat mungkin tidak mengulangi
kesalahannya.
2. Taubat
Nafsu Musawallah, yaitu
orang yang bertaubat disertai dengan pengazaman untuk tidak mengulanginya.
Namun seringkali ia tidak berdaya melawan hawa nafsunya. Setiap kali ia berbuat
dosa, setiap itulah dia bertaubat.
3. Taubat
Nafsu Ammarah, yaitu
orang yang bertaubat, namun ketika ia berbuat dosa, tidak ada rasa penyesalan
sedikit pun akan kesalahannya. Bahkan ia selalu mengulang-ulang kesalahannya
tersebut. [iii]
Kaum sufi selalu memandang taubat sebagai upaya positif
untuk berpaling dari dosa dan mengarahkan pandangannya kepada Allah semata.
Berkali-kali para sufi menekankan, ketulusan dan kesungguhan hati merupakan
syarat utama bertaubat. Percayalah bahwa dosa sebesar seratus kali dunia pun,
dapat dihapuskan oleh satu ucapan taubat di jalan yang lurus.[iv]
Sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya: Dan Dialah yang menerima taubat
dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang
kamu kerjakan,” (QS. asy-Syuura [42]:
25).
[i] Masan Alfat, (1994) Akidah Akhlak, Semarang: PT. Toha Putra
Karya, hlm.77
[ii] Ibnu Daqiq al-Ied, (2001), Syarah Hadits Arba’in Imam Nawawi, Yogyakarta:
Media Hidayah, cet. 10, hlm. 95
[iii] Masan Alfat, op.cit., hlm. 78-80
[iv] Mohammad Ajmal, (2003) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Bandung: Mizan, cet. 2, hlm. 402
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan jejak berupa komentar :